Cursor

Kamis, 13 Oktober 2016

MENGAPA KNPB MENGANGGAP PAPERA 1969 TIDAK SAH, INI ALASANNYA


Sejarah merupakan rangkaian peristiwa yang perlu dijaga dan perlu adanya pelurusan apabila ada upaya pembelokkan atau pemutar balikkan fakta yang ada, begitu juga dengan sejarah Papua. KNPB  menuduh penyelenggaraan PEPERA tidak demokratis mengapa demikian ?

Seperti diketahui bersama bahwa Indonesia dijajah Kolonial Belanda dari Sabang sampai Merauke, Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,seharusnya seluruh wilayah termasuk Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun, tetapisetelah masanya lewat pihak Belanda tidak memenuhi janjinya, hal ini membuat PBB campur tangan dalam penyelesaiannya.


Setelah Indonesia melakukan perebutan Papua Barat (Irian Barat) dan operasi-operasipertempuran mulai mengepung beberapa kota penting di Irian Barat, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat dan atas desakan Amerika Serikat, Belanda bersedia menyerahkan irian Barat kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement tahun 1962 yang isinya antara lain :

1.     Paling lambat 1 Oktober 1962 pemerintahan sementara PBB (UNTEA) akan menerima serah terima pemerintahan dari tangan Belanda dan sejak saat itu bendera merah putih diperbolehkan berkibar di Irian Barat.

2.     Pada tanggal 31 Desember 11962 bendera merah putih berkibar disamping bendera PBB.

3.     Pemulangan anggota anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai tanggal 1 Mei 1963

4.     Selambat lambatnya tanggal 1 Mei 1963 pemerintah RI secara resmi menerima   penyerahan pemerintahan Irian Barat dari tangan PBB.

5. Indonesia harus menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat rakyat di  Irian Barat, paling lambat sebelum akhir tahun 1969.

Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi propinsi ke 26. Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya.



Pada tahun 1969, diadakanlah PEPERA yang dilakukan oleh Panitia Sembilan yang telah dilantik oleh DPRD setempat. Panitia ini segera menghubungi para tokoh masyarakat Papua untuk segera bergabung dalam DMP (Dewan Musyawarah PEPERA). PEPERA diikuti oleh 1.026 anggota DMP yang menjadi wakil dari rakyat Papua Barat dari delapan kabupaten. PEPERA dimulai dari Merauke, ujung timur Indonesia, tanggal 14 Juli 1969 hingga terakhir diadakan di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969. Sebagian besar wakil yang hadir memilih bersatu dengan NKRI. Pelaksanaan PEPERA turut disaksikan utusan dari PBB, utusan dari Australia, serta utusan dari Belanda. Pemerintah Indonesia dengan PBB telah sepakat untuk menggunakan sistem perwakilan bukan sistem one man one vote saat PEPERA mengingat adanya kendala secara geografis dan demografis. Sistem perwakilan itu sendiri juga merupakan wujud dari demokrasi. Dalam budaya Papua sendiri, apabila tokoh adat setempat memilih pilihannya maka pilihan ketua adat akan diikuti oleh masyarakatnya.

Pepera diadakan untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia, pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka. Para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB.

Hasil PEPERA kemudian diserahkan kepada Dr. Fernando Ortiz Sanz (wakil PBB untuk mengawasi PEPERA) untuk dilaporkan pada saat Sidang PBB ke-24 pada tanggal 19 November 1969. Sebanyak 84 negara anggota PBB menyetujui penggabungan Papua Barat ke wilayah Indonesia, hanya 30 negara yang abstain, dan tidak ada satu negara pun yang tidak setuju. Pihak Belanda sendiri menunjukkan sikap menghormati keputusan rakyat Papua Barat. PBB menyatakan bahwa Papua Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia dan dihapus dari daftar dekolonisasi PBB dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum PBB no 2504.

Pembentukan Negara Boneka dan Janji kemerdekaan Irian Barat sebenarnya hanyalah tipu daya Hindia Belanda utuk tetap menguasai Irian Barat, begitu juga dengan penyelenggaraan PAPERA sendiri adalah upaya pemerintah Hindia Belanda untuk tetap menguasai Irian Barat seandainya masyarakat Papua memilih tetap dibawah kekuasaan Pemerintah Belanda. Adanya tuduhan KNPB yang mengatakan penyelenggaraan PEPERA tidak demokratis adalah tidak berdasar karena faktanya penyelenggaraan PAPERA dilaksanakan secara Demokratis.

Sekarang kedua provinsi di Papua yakni Papua dan Papua Barat telah memeroleh otonomi khusus. Bantuan dana otonomi khusus yang telah diberikan oleh pemerintah pusat tidaklah kecil. Sudah bukan waktunya lagi untuk mempermasalahkan integrasi Papua ke Indonesia. Orang-orang Papua yang tergabung dalam KNPB baik Politik ataupun Bersenjata sudah seharusnya kembali bersama-sama mengerahkan segala potensi untuk membangun Tanah Papua menuju masa depan yang cerah. Integrasi Papua sudah final. Saat ini sudah ada beberapa tokoh OPM yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia, antara lain Nicolaas Jouwe dan Franzalbert Joku dan pada Perayaan HUT RI ke 71 ratusan Ex-TPNOPM juga menyatakan ikrar kembali kepangkuan NKRI. Biarlah sebutan "Tanah Surga" tetap terus melekat dengan Tanah Papua di mana setiap orang dari berbagai suku bangsa dan agama hidup dalam damai dan hidup berdampingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar